Tag

, ,

Kamis, 22 April 2010 | 00:57 WIB

Sebagian politikus Senayan terkesan melakukan “show of force” dalam membela Misbakhun, rekan mereka yang diperiksa polisi. Sikap seperti ini sungguh tidak pantas dan melampaui kewenangan mereka sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Sebagai wakil rakyat, mereka seharusnya memberi teladan bagi khalayak bahwa upaya penegakan hukum mesti dihormati.
Solidaritas yang sempit itu diperlihatkan antara lain oleh Lily Wahid, legislator dari Partai Kebangkitan Bangsa, dan Akbar Faisal dari Partai Hanura. Mereka mendampingi Misbakhun ke Markas Besar Kepolisian kemarin. Legislator dari Partai Keadilan Sejahtera ini diperiksa sebagai saksi dalam kasus surat utang (letter of credit) bermasalah PT Selalang Prima Internasional. Dalam kasus ini Misbakhun sebenarnya telah ditetapkan sebagai tersangka, dan pemeriksaan dalam status ini baru akan dilakukan beberapa hari kemudian.

Lily Wahid dan Akbar Faisal menyatakan, tindakan mereka itu merupakan perwujudan solidaritas sebagai sesama anggota Tim 9–kelompok politikus yang menggulirkan Angket Century, beberapa waktu yang lalu. Lily bahkan menegaskan, apa pun yang terjadi, kelompok ini akan selalu bersama. Adapun Akbar menilai pemeriksaan Misbakhun sebagai bentuk arogansi pemerintah.
Persoalannya, siapa sebenarnya yang arogan? Apakah polisi tidak boleh menyentuh anggota DPR? Harus diakui, kepolisian berada di barisan pemerintah. Tapi seharusnya anggota DPR tetap menghormatinya sebagai lembaga penegak hukum. Apalagi, dalam penentuan Kepala Kepolisian RI pun, para politikus Senayan ikut berperan.

Anggota DPR seharusnya paham bahwa proses penegakan hukum tak boleh dikotori dengan manuver politik. Khalayak heran ketika Misbakhun meminta semacam dukungan kepada Komisi III DPR RI sehari sebelum diperiksa. Dalam sebuah forum terbuka dengan komisi ini, Misbakhun, yang didampingi Bambang Soesatyo (Golkar), Ahmad Yani (PPP), dan Desmond J. Mahesa (Gerindra), menyatakan kasus yang menimpanya sarat dengan muatan politis.

Retorika seperti itu membingungkan masyarakat. Sebab, tidaklah mungkin polisi berani menetapkan Misbakhun sebagai tersangka jika tak disertai bukti yang memadai. Kalau memang ada kelemahan atau mungkin kejanggalan dalam proses hukum, seharusnya masalah inilah yang disoroti. Jadi, argumen hukumlah yang perlu ditonjolkan, bukannya asal menyatakan bahwa kasus ini bermuatan politik.

Politikus Senayan seolah berpikiran: karena diyakini kasus itu bermuatan politik, maka perlu diimbangi dengan manuver politik. Sikap begini amat berbahaya lantaran akan memperkeruh proses penegakan hukum. Apalagi, mereka tidak bisa memastikan bahwa Misbakhun benar-benar tidak bersalah dalam kasus surat utang yang bermasalah itu.

Kami setuju, penegak hukum tetap harus diawasi, hal yang juga menjadi tugas anggota Dewan. Tapi beramai-ramai membela Misbakhun bukanlah tindakan yang pas jika tujuannya untuk mengontrol kinerja polisi. Langkah ini akan cenderung dianggap sebagai bentuk intervensi atau setidaknya menggambarkan sikap kurang menghargai proses penegakan hukum.

 

Sumber: http://www.tempo.co/read/opiniKT/2010/04/22/1266/Aksi-Membela-Misbakhun